Header Ads

Cerita Dari Makam Syekh Abdurrahman, Guru Ulama-Ulama Besar Minangkabau

Masjid-Arrahman-Batu-Hampar-Kabupaten-Limapuluh-Kota-Sumbar
Masjid Arrahman, Komplek Pondok Pesantren Al-Manaar, Batu Hampar, Kecamatan Akabiluru
Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar./ Photo : Fajar Rillah Vesky
Payakumbuh, GonjongLimo.Com --Bagi warga Sumatera Barat, nama Syekh Sulaiman Arrasuli atau Inyiak Canduang, tidaklah asing. Begitu pula dengan nama Syekh Abdul Qadim Belubus atau Beliau Balubuih dan Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi atau Beliau Kumango. Ketiga ulama termasyhur ini, rupanya pernah jadi murid Syekh Abdurrahman: kaket buyut Proklamator Republik Indonesia Muhammad Hatta yang makamnya berada di Batuhampar, Limapuluh Kota.

Ihwal Inyiak Canduang, Beliau Balubuih, dan Beliau Kumango, pernah menjadi murid Syekh Abdurahman, dikemukkanan banyak penulis. Termasuk Apria Putra, penulis buku Ulama-Ulama Luak Nan Bungsu. Ini diperkuat pula Profesor Mestika Zed, sejarawan dari Universitas Negeri Padang yang juga putra Nagari Batuhampar.

"Iya, Inyiak Canduang pernah berguru kepada Syekh Abdurrahman. Kelak, setelah Syekh Abdurrahman tiada, para penerus beliau juga berguru ke Inyiak Canduang. Saya kira, ulama-ulama tempo dulu itu, memang punya banyak surau tempat belajar. Mereka, kaya dengan sumber mata air, karena saling timba-menimba ilmu. Tidak fanatik pada satu ulama saja," kata Profesor Mestika Zed yang dulu memberi pengantar untuk buku saya: Tambiluak: Tentang PDRI dan Peristiwa Situjuah.

Saat ke Batuhampar, saya tidak bisa masuk ke makam Syekh Abdurrahman yang ditutupi cungkup. Tapi, saya bisa bertemu dengan Buya Sya'rani Khalik Dt Majo Reno atau Datuak Oyah, ulama 91 tahun yang masih menyimpan dan menguasai kitab-kitab langka peninggalan ulama Minangkabau tempo dulu.Buya Sya'rani menyebut, Syekh Abdurrahman adalah anak tunggal pasangan suami-istri Abdullah Rajo Baintan dan Tuo Tungga. Syekh Abdurrahman diperkirakan lahir 1783 dan wafat pada 23 Oktober 1899. "Beliau wafat, dalam usia kurang lebih 122 tahun," kata Buya Sya'rani.

Karunia umur panjang yang diberikan Allah kepada Syekh Abdurrahman, tidak disia-disiakan ulama karismatik yang memiliki suara merdu saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran tersebut. Lebih dari sepertiga usianya, digunakan Syekh Abdurrahman untuk pencarian ilmu agama.

"Beliau mengembara mulai ke Galogandang, Tanahdatar, terus ke Aceh. Lalu terus ke Mekkah Setelah itu, kembali ke Aceh dan Tanahdatar, hingga kemudian pulang kampung ke Batuhampar, berdakwah sekaligus mengembangkan pendidikan Islam dengan sistem halaqah (yang kini juga disebut sebagai liqa')," kata Buya Sya'rani Khalil dan Profesor Mestika Zed.

Ada cerita mengharukan, saat Syekh Abdurrahman pulang ke Batuhampar, setelah 48 tahun melakukan pencarian ilmu agama. Dalam perjalanan dari Tanahdatar ke Batuhampar, ia sempat berhenti di Nagari Barulak yang kini masuk Kecamatan Tanjuangbaru dan terkenal sebagai tempat urut patah-tulang. Di nagari ini, Syekh Abdurrahaman, kabarnya sempat bertanya kepada seorang wanita tua yang sedang menuai padi di tengah sawah.

Rupanya, setelah hampir setengah abad merantau dan tak pernah pulang kampung, Syekh Abdurrahman tak ingat jalan pulang ke rumahnya. Konon, setelah bertanya kepada wanita tua yang tengah menuai padi di tengah sawah, mahaguru tariqat Na'sabandiyah itu merasa ada yang lain dalam dirinya. Syekh Abdurrahman merasa kenal dengan wanita tersebut.

Usut punya usut, wanita itu adalah Tuo Tungga, ibu kandung Syekh Abdurrahman. Tuo Tungga mengira, anaknya telah tiada. Maka, tak dapat dibayangkan, betapa mengharu-birunya pertemuan ibu dan anak itu. Setelah saling berpelukan, Syekh Abdurrahman membawa ibunya ke rumah mereka. Konon, seperti ditulis Apria Putra dan seorang pemuda Batuhampar bernama Riki, Syekh Abdurrahman menjunjung padi ibunya dari Barulak ke Batuhampar.

Setiba di kampung, Syekh Abdurrahman tidak langsung beraktifitas di suraunya yang terkenal itu. Awalnya, ia bertanam tebu. Setelah itu baru membina anak-anak kampung dan berdakwah di tengah masyarakat. Dakwahnya yang menyejukkan, sekata antara ucapan dengan perbuatan, membuat Syekh Abdurrahman cepat diterima masyarakatnya, termasuk para pemangku adat Batuhampar.

Lambat laun, ulama yang disebut-sebut berperawakan tinggi tegap, berkulit kuning bersih, serta senantiasa memakai jubah dan sorban itu, semakin disegani masyarakat. Nama Syekh Abdurrahman harum sampai ke luar Batuhampar. Beliau kemudian mendirikan perkampungan dakwah yang sampai kini disebut sebagai Kampung Dagang.

Sejarah mencatat, Kampung Dagang Batuhampar tempat Syekh Abdurrahman mengajarkan Ilmu Al-Quran dan Tariqat Naqsabandiyah, selalu ramai didatangi orang siak (santri) dari berbagai pelosok Sumatera. Bahkan, sampai Syekh Abdurrahman mengalami kelumpuhan di akhir hayatnya, Kampung Dagang tetap menjadi pusek jalo-pumpunan ikan atau tempat penting bagi mereka yang haus akan ilmu agama.

Buya Sya'rani menyebut, semasa Syekh Abdurrahman hidup, Kampung Dagang selain dikelilingi surau-surau sebagai tempat tinggal murid-murid Syekh Abdurahman. Surau-surau itu memiliki nama beragam, sesuai kampung asal muridnya. Untuk murid yang berasal dari wilayah Kota Payakumbuh, mereka tinggal di Surau Tiaka, Surau Payobasuang, dan Surau Koto Nan Ompek. Sedangkan murid dari wilayah Kabupaten Limapuluh Kota, tinggal di Surau Mungka, Surau Suayan, Surau Sariaklaweh, dan Surau Taeh. Kemudian, Surau Sungai Baringin, Surau Suliki, Surau Sungai Rimbang, Surang Pauh Sangik, Surau Lundang, dan Surau Pangkalan.

Sedangkan murid Syekh Abdurrahman dari wilayah Kabupaten Agam, tinggal di Surau Canduang, Surau Sungai Angek, Surau Tilatang Kamang, Surau Banuhampu, Surau Padang Tarok, dan Surau Lasi. Adapun murid dari Solok, tinggal di Surau Solok, Surau Kacang, dan Surau Saniang Baka. Sementara, murid dari Kabupaten Tanah Datar, tinggal di Surau Simabua dan Surau Batipuah.

Disamping itu, ada pula, namanya Surau Painan, Surau Bayang, Surau Batang Kapeh, dan Surau Siguntua (untuk santri dari Pesisir Selatan). Kemudian, ada Surau Pariaman dan Surau Padang. serta, Surau Palembang, Surau Krui, dan Surau Limo Koto (Riau). "Pendek kata, semasa itu, memang banyak sekali surau-surau di kampung Dagang ini, tempat tinggal murid-murid Syekh Abdurrahman," kata Buya Sya'rani.
Di antara puluhan surau yang terdapat pada masa itu, berdiri pula Masjid Dagang (kini Masjid Arrahman). 

Di masjid inilah, Syekh Abdurrahman, mengajari murid-muridnya dengan sistem halaqah. Buya Sya'rani sempat membolak-balik dokumen yang terdapat di rumah tempat ia tinggal, untuk memperlihatkan bentuk Masjid Dagang tempo doele. Namun, hanya satu foto yang ketemu "Nah, ini bagian dalam, Masjid lama itu. Tonggaknya besar-besar. Dindingnya, dipenuhi kaligrafi," kata Buya Sya'rani yang saat itu didampingi tokoh muda Batuhampar Haris Saputra, serta Pak Datuak dan Pak Imam yang sebelumnya memimpin kami menunaikan shalat Ashar berjamaah.

Menurut Buya Sya'rani, setelah Syekh Abdurrahman tiada, perannya dalam mendidik ilmu-ilmu agama, digantikan Syekh Muhammad Arsyad, putra kandungnya. "Semasa, Syekh Muhammad Arsyad ini, Kampung Dagang memasuki masa emasnya. Beribu-ribu murid datang. Pada zaman beliau pula, menara untuk tempat bilal mengumandangkan azan saat masuk waktu shalat, dibangun di komplek ini," kata Buya Syarani Khalil.

Syekh Muhammad Arsyad sendiri, mulai memimpin aktifitas dakwah di Batuhampar, semasa ayahnya, Syekh Abdurrahman, masih hidup. Syekh Arsyad, selain menimba ilmu dari sang ayah, juga pernah berguru ke Mekkah, Mesir, sampai Istanbul. Ulama yang menurut Apria Putra, hobi berziarah ke makam para nabi dan orang-orang shalih ini, tidak hanya jago melagukan Al-Quran, tapi juga seorang hafidz. Paling penting, Syekh Arsyad adalah Ulama Tariqat Naqsabandiyah Khalidiyah yang disegani.

Begitu Syekh Arsyad wafat pada 1924, perannya sebagai pendidik ilmu agama sekaligus Datuak Oyah-nya warga Batuhampar, digantikan putranya Syekh Muhammad Arifin Arsyadi. Ulama yang wafat pada 1938 ini, disegani warga Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) di Ranah Minang.

Pada zaman Syekh Muhammad Arifin pula, di Kampung Dagang Batuhampar, berdiri secara resmi, Madratsah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang mulai menerapkan pendidikan sistem klasikal. Ketika Syekh Arifin tiada, penerus gelar Datuak Oyah berikutnya adalah Syekh Ahmad. Ulama yang wafat usai Agresi II Belanda atau 1949 ini, merupakan putra Syekh Abdurrahman.

Tatkala Syekh Ahmad tiada, takdir Kampung Dagang Batuhampar sebagai pusat pencarian ilmu agama Islam, belum berakhir. Sebab, ada Syekh Darwisy Arsyadi yang meneruskan kepemimpinan. Syekh Darwisy (Darwis) yang wafat pada 1964 ini, merupakan putra kandung dari Syekh Arifin Arsyadi atau cucu dari Syekh Abdurrahman. Setelah Syekh Darwisy tiada, gelar Datuak Oyah diemban oleh saudara kandungya, Syekh Damrah Arsyadi yang wafat pada 1992 silam.

Menurut cerita Pak Datuak yang menjadi bilal saat kami menunaikan Shalat Ashar berjamaah, Syekh Damrah Arsyadi yang berwajah teduh, memilih karomah tersendiri. Persis, seperti kakek-buyutnya Syekh Abdurrahman yang diyakini sebagai ulama keramat. "Ini foto Syekh Damrah, bersama orang siak, murid-muridnya dari Bengkulu," kata Pak Datuak itu.

Syekh Damrah Arsyadi adalah ulama keenam yang memimpin Kampung Dagang Batuhampar atau Surau Batuhampar. Setelah ia tiada, kiprahnya digantikan Buya Sya'rani Khalil merupakan putra dari Khalilurrahman bin Syekh Muhammad Arsyad bin Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi Batuhampari. Dari garis ayah, Buya Sya'rani, bersepupu dengan Proklamator Republik Indonesia, Mohammad Hatta. Sebab itu, putri-putri Bung Hatta, baik Meutia, Gemala ataupun Halida Hatta, sering mengunjunginya.

"Bagi kami, Batuhampar sudah seperti tanah kelahiran. Sulit bagi kami untuk tidak mengatakan orang Minang. Di Batuhampar ini, kami ingat dengan Mak Tuo Rafiah, Mak Tuo Halimah, dan Datuak Oyah (Buya Sya'Rani). Alhamdulillah, Datuak Oyah masih sehat," ucap Profesor Meutia Hatta, saat berziarah ke makam Syekh Abdurrahman dan makam ulama-ulama lain di Batuhampar, bertahun silam.

Menurut Haris Saputra, pemuda Batuhampar yang bisa beraktifitas di Padang, putri-putri Bung Hatta, hampir setiap tahun ziarah ke Batuhampar. "Mungkin dalam waktu dekat, juga akan berziarah ke sini. Baru-baru ini, putri-putri Bung Hatta, meluncurkan buku di Jakarta, saya diundang ke sana," kata Haris, sebelum senja memisahkan kami. (Fajar Rillah Vesky)
Terkait : Suatu Senja di Kampung Moyang Bung Hatta

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.