Header Ads

Suatu Senja di Kampung Moyang Bung Hatta

Buya Sya'rani Khalil Datuak Majo Reno(Datuak Oyah)
Buya Sya'rani Khalil Datuak Majo Reno(Datuak Oyah) baju putih/
Photo: Fajar Rillah Vesky
Payakumbuh,GonjongLimo.Com--Langit cerah di Nagari Batuhampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Sabtu sore (3/6). Di sebuah masjid, di komplek Pondok Pesantren Al-Manaar, seorang lelaki tua bermuka jernih, memakai sarung dan baju koko, terlihat sedang menunggu masuk waktu Ashar. Ketika dijambangi, orang tua itu menyambut dengan hangat. Meski sebelumnya, tidak ada janji di antara kami. "Oh ya, saya masih ingat. Sudah lama ya, tidak ke sini" tanya lelaki bernama lengkap Buya Sya'rani Khalil Datuak Majo Reno tersebut.

Dalam keseharian, Buya Sya'rani Khalil Datuak Majo Reno, lebih dikenal masyarakat sebagai Datuak Oyah. Datuak Oyah merupakan panggilan kehormatan buat ulama di Nagari Batuhampar. Nagari yang membesarkan banyak intelektual Islam, termasuk Proklamator Republik Indonesia Mohammad Hatta dan sejarawan Prof Mestika Zed.

Sebelum Buya Sya'rani, gelar Datuak Oyah disematkan masyarakat Batuhampar kepada enam ulama. Yakni, Syekh Dhamrah Arsyadi, Syekh Darwisi Arsyadi, Syekh Ahmad, Syekh Muhammad Arifin, Syekh Muhammad Arsyad, dan Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi Naqsyabandi Batuhampari.

Adapun Buya Sya'rani yang merupakan generasi ketujuh Datuak Oyah, lahir 10 April 1926 silam. "Saat ini, usianya sudah 91 tahun. Kendati sudah diambang senja, tapi Buya Sya'rani, masih dikaruniai kesehatan yang baik. Ingatannya sangat tajam. Pengetahuan beliau akan agama, sangat luas.

Tidak heran, beliau menjadi tempat bertanya, tidak hanya bagi warga Batuhampar, tapi juga bagi warga dari berbagai daerah di Sumbar. Seperti kemarin, sejumlah warga Pesisir Selatan, terlihat berada di rumah beliau, untuk pamitan mengikuti suluk (khalwat), selama berhari-hari di Batuhampar.

Menariknya, walau terbilang sebagai satu dari sedikit ulama kharismatik yang masih 'tersisa' di Luak Limopuluah, namun Buya Sya'rani Datuak Oyah, tetap bersahaja. Beliau seakan menjadi representasi ulama tempoe doeoloe yang makin berisi makin merunduk. "Saya ini orang bodoh yang sudah tua, " ujarnya.

Dua tahun lalu, saat kami pertamakali mengobrol di tempat yang sama, Datuak Oyah juga merendah. "Saya hanya manusia biasa, " ujarnya. Padahal, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama mencatat, Buya Sya'rani merupakan ulama yang masih menyimpan dan menguasai enam kitab Lanka atau naskah keagaaman, peninggalan ulama-ulama besar Minangkabau tempo dulu. Dimana, keenam kitab itu sudah digitalisasi sejak 2014 silam.

Naskah pertama yang disimpan Buya Sya'rani adalah Kitab Jami‘ al-Usul fi al-Awliya’ yang menjelaskan tentang tasawuf, terutama tentang Tarekat Naqsabandiyah. Kedua, naskah yang terdiri dari kumpulan teks tentang Tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah. Ketiga, kitab al-Arba‘in al-Nawawiyah yang berisi tentang 40 hadis terkait pokok-pokok keislaman.
Keempat, kitab Mirqat al-Qalb yang membahas tentang kaifiat dalam mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Kelima, kitab Dubdat al-‘Irfan fi Wujuh Al-Qur’an yang berisi tentang ilmu qira’at yang masyhur dan berjumlah tujuh riwayat. Serta keenam, kitab al-Mukarrar yang berisi tentang berbagai qira’at Al-Qur’an.

Buya Sya'rani Datuak Oyah sendiri, merupakan putra dari Khalilurrahman bin Syekh Muhammad Arsyad bin Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi Batuhampari. Dari garis ayah, Buya Sya'rani, bersepupu dengan Proklamator Republik Indonesia, Mohammad Hatta. Sebab itu, putri-putri Bung Hatta, baik Meutia, Gemala ataupun Halida Hatta, sering mengunjunginya.

"Bagi kami, Batuhampar sudah seperti tanah kelahiran. Sulit bagi kami untuk tidak mengatakan orang Minang. Di Batuhampar ini, kami ingat dengan Mak Tuo Rafiah, Mak Tuo Halimah, dan Datuak Oyah (Buya Sya'Rani). Alhamdulillah, Datuak Oyah masih sehat," ucap Profesor Meutia Hatta, saat berkunjung ke Batuhampar, bertahun silam.

Buya Sya'rani Datuak Oyah, pernah mengecap pendidikan agama di Tarbiyah Islamiyah Batuhampar, Tabekgadang, dan Canduang. "Saya, pernah belajar, , dengan Syekh Sulaiman Ar-Rassuli," ujarnya. Ia juga pernah mengecap pendidikan formal di Sekolah Guru/Hakim Agama, Jirek, Bukittinggi, pada 1954. Kemudian menjadi pengajar di Sekolah Guru Bawah depan RRI Padang sampai 1957.

"Sejak 1960 sampai kini, saya tidak pernah pergi dari Pondok Pesantren Al-Manaar, Batuhampar ini," ujar Buya Sya'rani. Setengah abad bergelut dengan pendidikan Islam, namun Buya Sya'rani, nampak sedih dengan perkembangan pendidikan Islam akhir-akhir ini.

"Saya melihat, sekarang pondok pesantren dibangun megah-megah. IAIN begitu pula. Tapi, lulusannya menanggung. Ulamanya menanggung. Sarjananya tidak jadi. Tidak berisi. Padahal, orang dulu-dulu, belajarnya hanya berdinding tadir, tapi dalam. Sekarang agama ndak terang. Buku-buku terjemahan, banyak yang salah. Aliran begitu pula. Sedih kita," ujar Buya Sya'rani.

Ulama yang memiliki 6 putra-putri dari dua istri (keduanya sudah meninggal ini), juga mengkritisi pola pendidikan Islam. "Sekarang, banyak pemikiran Barat yang masuk dalam pendidikan Islam. Contohnya, ilmu Ushuluddin, dipandangi dengan teori Barat. Padahal, Ushuluddin itu tauhid. Kemudian, minat untuk belajar agama, semakin berkurang. Sekarang, Orang lebih suka ini," kata Buya Sya'Rani, sambil menggesekkan jempol dan telunjuknya.

Buya Say'rani juga mengaku prihatin dengan semakin langkanya lembaga pendidikan Islam yang memberikan ilmu salafiyah (mengaji dengan kitab kuning), kepada anak-anak didiknya. "Kalau diperagakan kitab-kitab di sana (Buya Sya'rani menunjuk ke lemarinya), mungkin dikira tulisan Cina. Karena tak mengerti dengan hurufnya. Angan-angan orang kini, sudah sama dengan orang kebanyakan. Lihatlah, orang tahu agama, masak korupsi? Tidakkah ia ingat, Allah melihat," ujarnya.

Dipengujung percakapan Jami, Buya Sya'Rani berepesan, agar tetap menumbuhkan ketaqwaan dalam hati. Tawadhu. Terus mencari ilmu-ilmu agama. Ibarat sawah. Buya Sya'rani melihat, agama yang dianut Ummat Islam, kebanyakan masih "sawah pusaka" yang gampang tergadai dan terjual. "Saatnyalah, mencari "sawah sendiri", pasti sulit untuk menggadai dan menjual," pesan beliau. (Fajar Rillah Vesky)
Terkait : Cerita Dari Makam Syekh Abdurrahman, Guru Ulama-Ulama Besar Minangkabau

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.